Filosofi Ibadah Haji

1.     Filosofi Ibadah Haji
Ibadah haji bukan merupakan kegiatan ritual yang bersifat jasadiyah (fisik) belaka yang sunyi dari nilai-nilai spiritual. Namun, ibadah haji seperti halnya ibadah-ibadah mahdhah (khusus) lainnya sarat dan kental sekali dengan nilai-nilai spiritual. Apalagi perjalanan ibadah haji ibarat perjalanan menuju Allah Sang Khaliq. Atau ibarat orang yang meninggal, karena melakukan perjalanan menuju Allah Swt. Sehingga perjalanan ibadah haji merupakan perjalanan suci (rihlatul muqaddasah).
Berikut nilai-nilai spiritual atau makna symbol-symbol haji. Dengan suatu harapan, apabila jama’ah haji memahami symbol-symbol ini secara baik, maka mereka dapat menghayati setiap kegiatan ibadah haji yang sedang dikerjakan.
a.       Miqat
Miqat adalah lambang manusia memulai perjalanan sucinya menuju kepada Allah Swt. Sebelum menuju kepada Allah, hendaklah ia membersihkan lahir dan bathinnya dari dosa dan noda serta dari sifat-sifat kebinatangan, kerakusan, kesombongan dan sifat jelek lainnya.
b.      Ihram
Setelah berpakaian ihram ada larangan-larangan yang harus dijalankan seperti tidak boleh mencukur rambut, memotong kuku, menyakiti diri sendiri dan memakai wangi-wangian. Hal ini bermakna selama perjalanan menuju Allah harus menjauhi semua kesenangan dunia.
c.       Talbiyah
Bacaan talbiyah adalah bentuk kepasrahan secara totalitas hanya kepada Allah. Semua identitas dan atribut yang mencirikan manusia yang satu dengan lainnya harus ditanggalkan sehingga dapat berbaur dengan jamaah lainnya.
d.      Thawaf
Thawaf dimulai dari Hajar Aswad. Hajar Aswad adalah lambang tangan kanan Allah. Pada zaman jahiliyah setiap orang yang mengerjakan urusan besar pasti bersumpah setia dengan ketua kabilah. Karenanya setaip jama’ah haji yang bergerak menuju Allah berjabat tangan dengan tangan kanan Allah sebagai symbol sumpah setia untuk taat menjalankan semua perintah haji dan meninggalkan larangan Nya semata mata karena mencari Ridha-Nya.
e.       Sa’i
Sa’I artinya berusaha, bekerja, berjalan dan berlari. Dari bukit Shafa (suci, bersih) dan diakhiri di bukit Marwah (kepuasan). Hal ini bermakna, setiap orang yang akan melakukan perbuatan mulailah dari hati yang bersih, niat yang ikhlas sehingga ia akan memperoleh kepuasan.
f.        Arafah
Arafah artinya pengetahuan dan pengenalan. Selama wukuf diharapkan setiap jamaah instropeksi diri atas dosa-dosa sejak baligh hingga hari ini. Padang Arafah juga merupakan miniatur padang Mahsyar, dimana manusia dibangkitkan dari alam kubur dikumpulkan oleh Allah disuatu tempat bernama Mahsyar. Pada saat itu tidak lagi ditemukan tempat berteduh, bahkan matahari jaraknya dipendekkan oleh Allah dari atas kepala manusia.
g.      Mudzalifah
Mudzalifah artinya peristirahatan. Setelah mengenal jati dirinya melalui instropeksi, para jamaah perlu istirahat sejenak karena akan melanjutkan ke medan perjuangan selanjutnya yaitu Mina. Sebelum mereka berada di medan perjuangan, mereka perlu persiapan mental dan fisik guna berjuang di medan perang. Karena itu, selama istirahat di Mudzalifah mereka dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, membaca talbiyah dan membaca Al Qur’an sebagai persiapan mental dan mengambil kerikil minimal 7 butir sebagai persiapan fisik. Sebab, sebentar lagi mereka akan melakukan peperangan.
h.      Mina
Mina artinya, kecintaan dan keinginan. Artinya, begitu jama’ah haji sampai di Mina, berarti mereka telah berada di medan perang. Mereka langsung bergerak menuju ke jumrah Aqabah. Itulah medan perang mereka. Di situ mereka mengadakan perlawanan yang sengit terhadap musuh-musuh manusia; setan, nafsu dan hawa nafsu. Jika dalam perlawanan itu mereka keluar sebagai pemenang, maka ia akan mendapatkan kecintaan Allah dan sekaligus memperoleh apa yang diinginkan. Itulah Mina.
i.        Qurban
Setelah jama’ah haji melaksanakan pelemparan jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, mereka kurban dengan menyembelih seekor kambing. Artinya, bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kecintaan Allah dan kesusksesan di dunia dan di akhirat harus disertai dengan perjuangan dan pengorbanan. Karena tanpa kecintaan Allah dan kesuksesan tidak bakal tercapai.
2.     Hakikat Ibadah Haji.
·         Pakaian Ikhram
Melambangkan keberanian dan kesanggupan untuk mati, alias hidup yang bersahaja dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat. Suatu bentuk kesederhanaan yang jelas, yaitu berupa pakaian putih tanpa jahitan. Yang melambangkan tak ada perbedaan derajat dan pangkat.
·         Sa’i
Melambangkan kesabaran dan keikhlasan dalam menempuh hidup yang wajar, Yaitu berjalan kaki dan lari kecil bagi yang laki-laki. Bagi perempuan, Sa’i di lakukan dengan berjalan cepat. Sa’i di lakukan secara bolak balik 7 kali dari bukit Shafa dan Marwah. Kesulitan untuk mempertahankan hak hidup tidak lantas melakukan sesuatu yang melampaui batas. Kekurangan atau kemiskinan tidak membuatnya kalap dan melakukan penjarahan bila ada kesempatan. Sa’i merupakan symbol keteguhan iman dalam memperjuangkan kehidupan yang benar.
·         Tawaf
Adalah tujuan mencapai pusat spiritual atau asal kehidupan, Yaitu mengitari Ka’bah dari arah kanan ke kiri sebanyak 7 kali. Orang banyak yang melakukan tawaf itu bagaikan sperma-sperma yang ingin masuk ke inti telur. Ka’bah yang di kenal sebagai Bait Allah atau Rumah Tuhan, merupakan lambang bagi rahim kehiudupan. Di sudut tenggara Ka’bah ada “ceruk” sebagai tempat hajar aswad, batu hitam, yang melambangkan vagina dan klitorisnya. Di sunatkan untuk mencium batu hitam itu sebenarnya lambang untuk menghormati kehidupan. Yang pada prinsipnya menghormati perempuan sebagai induk kehidupan.

Sebelum kedatangan agama Islam, bangsa Arab tidak menghormati perempuan. Kehidupan perempuan di lecehkan. Sehingga orang-orang dari suku tertentu merasa malu bila mempunyai anak perempuan, maka anak tersebut di kubur hidup-hidup. Islam melarang cara-cara hidup yang demikian itu. Perempuan harus di hormati. Di antara symbol-simbol penghormatan itu di bakukan dalam ibadah haji.
Dengan datangnya agama Islam, haji yang menjadi obsesi masyarakat Arab semenjak pra-Islam, di perbaiki tata caranya. Perjalanan haji ada di dalam darah orang-orang Arab. Bagaimanapun keadaannya seorang Arab masih meyakini bahwa ibadah haji akan menyelamatkan dirinya. Karena itu, tata cara rangkaian ibadah haji di perbaiki oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga dengan cara menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim, dengan cara menunaikan ibadah haji, seorang muslim di harapkan mampu menjalani hidup ini dengan benar. Baik untuk kehidupan pribadinya, maupun untuk kehidupan masyarakatnya. Perempuan harus di hormati dalam kehidupan ini. Bukan hanya di dalam rumah tangga, tetapi juga di dalam masyarakat dan negara. Mencium hajar aswad merupakan symbol untuk menghormatinya. Sedangkan perintah untuk menjaga, menghargai dan menghormatinya, bisa kita lihat pada ayat berikut ini :
WA AL-TAQU ALLAH AL-LADZI TASA’ALUN BIHI, WA AL-ARHAM. INNA ALLAH KANA ‘ALAYKUM RAQIBA Q.S. AN-NISA : 1
Artinya : Jagalah hukum Allah yang dengannya kalian saling meng-“Klaim” hak dan kewajiban kalian, dan jagalah rahim-rahim perempuan. Sesungguhnya Allah senantiasa mengawasimu.
Ayat tersebut menginformasikan bahwa kita hidup ini berdasarkan hak dan kewajiban yang bersumber dari-Nya. Hak dan kewajiban kita ini berasal dari hukum Tuhan. Kita hidup di bumi kepunyaan-Nya. Kita menghirup udara untuk napas kehidupan kita, dan ini berasal dari-Nya. Kita ada di dunia ini dari perempuan yang merupakan salah satu ciptaan-Nya yang teragung. Karena itu, dalam menjaga hukum Allah, termasuk di dalamnya adalah menjaga rahim perempuan. Artinya, kita [lelaki dan perempuan] harus menjaga rahim perempuan. Karena rahim adalah kehormatan tertinggi bagi manusia. Bahasa ayat tersebut amat halus. Menjaga rahim sebenarnya menjaga kelamin perempuan. Menjaga vagina. Ia bukanlah alat pemuas nafsu liar. Ia bukanlah sarana untuk eksploitasi kenikmatan seksual belaka. Meskipun kita tahu bahwa kenikmatan seksualitas dapat di peroleh lewat situ. Karena rahim merupakan kehormatan yang tertinggi maka rahim harus di sentuh melalui ikatan perkawinan. Melalui perjanjian hidup bersama yang terhormat. Dalam ikatan itulah masing-masing pasangan saling menghormati. Untuk mengingat nilai kehormatan ini, bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji di anjurkan untuk mencium hajar aswad. Kalau mau jujur, banyak orang yang naik haji itu kehilangan makna spiritualnya. Berbagai rukun dan syarat diyakini secara harfiah sebagai cara untuk menyempurnakan keimanannya. Dari keyakinan yang demikian mereka berharap menjadi Haji Mabrur – Mabrurah [hajatun mabrurah], haji yang penuh kebajikan. Padahal sepulangnya dari ibadah haji, ke-mabrur-annya tidak tampak atau tidak membekas. Seseorang akan mabrur hajinya bila dia ikhlas dalam menunaikannya. Tak ada kepentingan duniawi apa pun, meski dalam berhaji seseorang di perkenankan untuk melakukan perdagangan. Tetapi, perdagangan bukan sebagai motivasi atau faktor pendorong untuk berhaji. Panggilan haji itu betul-betul lahir dari lubuk hati terdalam, dan mengamalkan segala symbol dalam berhaji itu dalam kehidupan nyata. Haji juga bukan karena faktor politik! Cukup sekali seumur hidup ketika ia mampu melaksanakannya.
Ibadah haji merupakan perjalanan manusia ke pusat dirinya. Karena itu, kewajiban secara fisikal, kewajiban meniti symbol-simbol, hanya sekali dalam seumur hidup. Dan, itu pun bila yang bersangkutan “mampu”. Ya, perjalanan haji hanya bagi yang mampu. Bukan hanya mampu secara material, tetapi juga mampu secara mental dan spiritual. Sebelum pergi haji, seseorang harus sudah membersihkan dirinya dari jeratan duniawi. Sehingga sepulangnya dari haji, dia dapat menerapkan segala symbol yang di laluinya selama haji dalam kehidupan nyata di dunia ini. Bukan sepulang haji malah melakukan korupsi secara lihai. Pergi haji juga bukan untuk menutupi kecacatan dalam karir politik seseorang. Bukan untuk menebus dosa politik. Pergi haji bertujuan untuk meningkatkan mutu kemanusiaannya dalam kehidupan masyarakat.
Perhatikan berbagai larangan ketika ihram!
Ada beberapa larangan bagi orang yang sedang ber-Ihram. Di antaranya disebutkan dalam ayat Q.S. Al-Baqarah : 197, Yaitu di larang melakukan aktivitas seksual, tindakan fasik, dan bertengkar.
1. Larangan Melakukan Aktivitas Seksual
Ber-Ihram sebenarnya merupakan lambang penyucian batin. Bertapa brata. Karena itu, secara lahiriah pelaku haji harus mengenakan pakaian sederhana yang berupa belitan kain putih tanpa jahitan. Dalam upaya menyucikan batinnya, manusia harus bisa meredam gejolak birahinya. Sehingga semua hal yang menjurus pada pembangkitan nafsu syahwat harus di tiadakan! Segala lamunan tentang pornografi harus dihindarkan. Khayalan yang membangkitkan birahi harus di singkirkan, sehingga sentuhan badan dengan lain jenis yang tidak bisa di hindari itu tidak menyebabkan dorongan syahwat. Otomatis pernikahan di saat ber-Ihram tidak boleh di lakukan alias terlarang. Apalagi berhubungan seksual!
2. Larangan Berbuat Fasik
Perbuatan fasik Yaitu perbuatan yang menyimpang atau melanggar hukum Allah. Perbuatan keji dan mungkar sebagimana diterangkan di atas, tidak boleh di lakukan. Dalam pengertian fasik ketika ber-Ihram adalah membunuh. Baik itu membunuh manusia, hewan, atau tumbuhan. Jangankan membunuh, sesuatu perbuatan yang sifatnya menganiaya seperti merusak ranting tumbuhan pun di larang. Karena itu, berburu pun di larang [lihat Q.S. Al-Maidah (5) : 1-2]. Maksud pelarangan dalam ber-Ihram ini agar seseorang sepulangnya dari perjalanan haji tidak berani berbuat aniaya terhadap makhluk hidup. Apalagi membunuhnya. Kalau toh akan melakukan penebangan pohon, harus di pikirkan masak-masak bahwa penebangan itu tidak sampai menimbulkan kerusakan lingkungan.
3. Larangan Bertengkar
Pertengkaran suami-istri atau dengan orang lain di larang. Lho, bagaimana pertengkaran antara orang tua dengan anaknya, atau majikan dengan buruhnya yang di ajak menunaikan ibadah haji? Semua pertengkaran dilarang! Dalam ber-Ihram tak ada lagi perbedaan kedudukan. Di mata Tuhan semua makhluk sama kedudukannya. Karena itu, tak ada hak bagi manusia untuk menyombongkan dirinya di hadapan yang lain.
Coba perhatikan, alangkah harmonisnya kehidupan ini bila orang-orang yang telah pergi berhaji itu bisa menerapkan prinsip ber-Ihram dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya bila tata cara ber-Ihram itu di lakukan sebatas formalitas? Apa gunanya berhaji bila ibadah ihram itu tidak lagi membekas?
Nah, sekarang mari kita kembali ke Sunan Kalijaga yang membatalkan dirinya untuk pergi haji. Dari segi material dan mental, tak ada halangan sama sekali bagi sunan. Sudah sampai di Malaka, tapi malah di suruh pulang kembali ke pulau jawa. Alasannya, agar orang-orang Jawa tidak menjadi kafir. Artinya, kalau sunan tetap pergi ke Mekah, orang-orang Jawa akan kafir. Lho, apa sebabnya? Karena pemerintahan Demak masih di tahap transisi. Kekacauan dan kerusuhan banyak terjadi. Runtuhnya Majapahit menyebabkan perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana. Rakyat menderita. Praktis Islam yang di tawarkan oleh Wali Sanga tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat. Kecuali, yang di ajarkan oleh Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Kedua anggota wali ini mengajarkan Islam dengan pendekatan budaya. Meskipun cara dan intensitasnya berbeda.
Tujuan haji adalah untuk menjadi manusia sempurna [Insan Kamil]. Untuk hal ini sudah dipenuhi oleh Sunan ketika melakukan tapa brata di tepi kali. Sunan tercerahkan setelah selama lima tahun bertapa di pinggir kali. Semua symbol dalam ibadah haji itu telah di laluinya dalam meditasinya. Sehingga yang ada tinggal mengamalkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dalam sebuah hadist diterangkan bahwa sepulang para sahabat menunaikan ibadah haji, hanya ada satu orang yang menjadi haji mabrur. Para sahabat bertanya kepada Nabi, siapa gerangan orang yang mabrur hajinya itu. Nabi menyebutkan namanya. Para sahabat mulai mengingat-ingat nama tersebut. Dalam ingatan mereka tidak ada orang berhaji yang di sebutkan namanya oleh Rasul Allah itu. Maka, para sahabat menelusuri orang yang di maksud. Setelah bertemu dengan orang itu, sahabat-sahabat yang datang itu mengucapkan selamat bahwa orang itu menjadi haji mabrur. Tentu saja, orang itu kaget. Terkejut. Dan, akhirnya menjelaskan bahwa dirinya tidak sempat untuk pergi haji pada tahun itu. Dia menceritakan bahwa sudah berniat pergi haji dan sudah siap segala bekal untuk beribadah haji. Tat kala mau berangkat, dia mengetahui bahwa ada seseorang tetangganya yang sakit keras. Maka, dia menolong si sakit itu, dan menguras semua bekal untuk ibadah hajinya. Tetangganya yang sakit itu sembuh. Tapi, dia tidak jadi untuk beribadah haji, ternyata, orang yang demikian ini menjadi haji mabrur. Dus, untuk menjadi haji mabrur, harus bisa melihat kenyataan. Tanpa kesana pun, kalau kelebihan harta-bendanya itu untuk menyelamatkan orang, sama saja dengan pergi ke sana dan mendapatkan posisi sebagai haji mabrur.

3.      Sejarah Ibadah Haji

Sejarah Haji tak lepas dari sosok-sosok utama dalam Islam, yaitu Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Siti Hajar, Nabi Ismail, dan iblis laknatullah. Sejarah yg begitu panjang mulai dari Nabi Adam ini pada akhirnya menjadi salah satu syariat ummat Nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman. Tempat terukirnya sejarah besar ini adalah sekitar Masjidil Haram, Mas’a (tempat sai), Arafah, Masy’ar, dan Mina. Simbol utama dari sejarah ini adalah Ka’bah. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur mengenai ibadah haji dan umrah, pelaksanaan ibadah ini telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Berikut sejumlah tata cara ibadah haji yang dilaksanakan sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang ini.
Nabi Adam AS
Setelah beberapa waktu sejak diturunkan ke bumi, Nabi Adam diperintahkan oleh Allah SWT pergi ke Baitullah di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Menurut sejumlah riwayat, Ka’bah dibangun oleh para malaikat. Dan selama lebih dari 2.000 tahun, malaikat sudah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka’bah). Nabi Adam AS kemudian mengikuti apa yang dilakukan malaikat. Kemudian, Nabi Adam AS diperintahkan untuk membangun kembali Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS Ali Imran [3]: 96). Dalam kisahnya, setelah Adam dan Hawa diturunkan ke dunia dalam keadaan terpisah kemudian mereka bertemu kembali di Jabal Rahmah yang berarti Bukit Kasih Sayang. Untuk mengenangnya, di atas Jabal Rahmah terdapat suatu tugu yang terbuat dari beton persegi empat dengan lebar 1,8 meter dan tingginya 8 meter. Masyarakat setempat percaya, lokasi bertemunya Adam dan Hawa persis di titik tugu tersebut. Jabal Rahmah juga jadi tempat bersejarah bagi perjalanan Nabi Muhammad. Di sanalah dirinya menerima wahyu terakhir dari Allah, sekaligus penyempurna dari ajaran Islam. Banyak yang percaya, jika berdoa minta jodoh di Jabal Rahmah maka permintaannya cepat dikabulkan. Selain itu, sejarah dan pemandangan yang terlihat dari Jabal Rahmah sudah mampu mencuri perhatian jamaah haji.
Nabi Hud dan Saleh
Para nabi setelah Adam AS juga melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Bidayah wa an-Nihayah, menyebutkan sebuah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ra, Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Nabi SAW sedang lewat di Lembah Usfan pada waktu berhaji, beliau berkata, ‘Wahai Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Lembah Usfan.’ Nabi Bersabda, ‘Hud dan Saleh AS pernah melewati tempat ini dengan mengendarai unta-unta muda yang tali kekangnya dari anyaman serabut. Sarung mereka adalah jubah dan baju mereka adalah pakaian bergaris. Mereka mengucapkan talbiyah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah’.”
Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS
“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang bertawaf dan orang-orang yang beribadah, dan orang yang ruku dan sujud. Dan, serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan’.” (QS al-Hajj [22]: 26-28). Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk mengajak umat manusia mengerjakan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya, nabi-nabi lainnya mengerjakan hal serupa. Kisah Nabi Ibrahim ini tak lepas dari sejarah kurban yang pertama, dimana Nabi Ibrahim dalam mimpinya diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail. Jauh sebelum perintah penyembelihan itu Nabi Ibrahim juga pernah menyuruh Nabi Ibrahim mengungsikan Ismail yang masih bayi bersama ibunya Siti Hajar ke tengah padang pasir yang tandus. Siti Hajar yang berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwa mencari sumber air menjadi latar sejarah ibadah Sa'i. Yang tak kalah mengesanakan adalah terpancarnya sumber air pertama sumur Zam-zam yang muncul dari hentakan-hentakan kaki Ismail yang menangis kehausan.
Nabi Muhammad SAW
Ibadah haji disyariatkan pertama kali pada tahun keenam Hijriah. Sedangkan, Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji pada tahun kesembilan Hijriah. Banyak ayat Alquran yang memerintahkan Nabi SAW dan umat Islam untuk melaksanakan haji, sebagaimana tuntunan Allah dalam Alquran (QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22: 27).
Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah:
-Tawaf (QS 22: 29 dan 2: 125)
-Sai antara Safa dan Marwa (QS 2: 158)
-Wukuf (QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199)
-Berkurban (QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36)
-Tahalul atau mencukur rambut (QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29).
Nabi Muhammad memiliki ikatan sejarah yang menarik dengan simbol ibadah haji dan umrah ini yaitu Ka'bah. Saat itu kaum-kaum bangsawan kota Makkah berebut ingin meletakkan Hajar Aswat di sisi Ka'bah. Salah seorang memberi usul, bahwa yang akan meletakkan batu hitam itu adalah orang yang muncul pertama kali di pintu Ka'bah. Dengan kehendak Allah, ternyata yang muncul pertama kali adalah Nabi Muhammad. Namun dengan bijaksana Nabi Muhammad menyuruh mereka meletakkan Hajar Aswat di atas selembar kain lalu masing-masing kaum memegangi pinggirnya dan membawa batu tersebut bersama-sama ke dekat Ka'bah. Barulah kemudian Nabi Muhammad mengangkatnya dan meletakkan pada posisi yang sekarang kita temui.
4.      Kriteria Cara Meraih Haji Mabrur
Impian terbesar seluruh jamaah haji adalah ibadahnya diterima oleh Allah dan hajinya menjadi haji yang mabrur. Meraih haji mabrur harus Anda perjuangkan. Karena balasan haji mabrur adalah surga dambaan setiap umat Islam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” [HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]
Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.
Untuk meraih haji mabrur, ada beberapa kriteria yang harus Anda penuhi, yaitu
1. Ikhlas.
Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat. “Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]
2. Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia berhaji sesuai dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]
3. Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” [HR Muslim : 1015]
4. Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan
“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]
5. Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.
Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid (22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah bin sholih Al-Fauzan :12-13
5.      Hikmah Ibadah Haji.
Banyak sekali Hikmah yang terkandung dalam ibadah Haji, baik yang dinyatakan dalam Al Qur’an maupun yang harus dicari sendiri oleh pelakunya.  Ibadah haji telah mewujudkan pertemuan dialogis antara kesadaran aqidah dan kecerdasan rasio. Pengalaman spiritual masing-masing orang akan berbeda tergantung kepada banyak factor.  Dalam berbagai amaliah haji seringkali sulit bagi akal manusia untuk memahami atau mengungkapkan apa hikmah yang tersirat di dalamnya yang sepintas terlihat irasional dan tak masuk akal. Para Haji yang telah pulang ke tanah airnya diharapkan mendapat pencerahan yang direfleksikan kepada masyarakat dengan amal shaleh dan karya nyata.  Indikator kemabruran haji nampak pada kepribadian dan sikap sebagai berikut:
  1. Kepatuhan dan penyerahan kepada Allah semata.
Hikmah utama dari ibadah haji adalah sebagai bentuk Kepatuhan dan penyerahan diri kepada Allah. Ketika Allah memanggil kita, maka kita bergegas memenuhi panggilan tersebut walaupun harus menempuh perjalanan  jauh dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, meluangkan waktu yang sangat berharga dan meninggalkan keluarga dan harta benda.  Dengan demikian seorang haji akan selalu siap bila Allah memerintahkannya menjalankan tugas luhur dari Allah karena untuk memenuhi tugas yang sulitpun kita telah bersedia datang memenuhi panggilannya.
  1. Meningkatkan kedisiplinan. 
Selama di tanah suci, jamaah haji dibiasakan untuk disiplin melaksanakan semua ritual haji dan sholat secara berjamaah di awal waktu dengan bersemangat. Kebiasaan disiplin tersebut diharapkan dapat melekat dalam kehidupan selanjutnya. Hasan al-Bashari berkata: Bersegerah, bersegeralah, sesungguhnya itulah napasmu, jika telah dihisab niscaya ia akan terputus darimu amal ibadahmu yang dengannya kamu mendekatkan diri kepada Allah swt, semoga Allah swt memberikan rahmat-Nya kepada seseorang yang merenungkan dirinya dan menangisi dosanya, kemudian ia membaca firman Allah swt: karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti” (QS. Maryam: 84), Apakah ada obat mujarab untuk mengobati penyakit malas dalam melaksanakan rutinitas keta’atan? kematian, ingatlah kita semua akan berangkat meninggalkan dunia ini menuju suatu negeri yang akan dibalas padanya orang-orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat, apabila kita menginginkan untuk terus merasakan berkah hajimu, maka ingatkanlah dirimu dengan kematian, karena sesungguhnya ia pada saat itu akan segera untuk melaksanakan amal shalih dan giat dalam beribadah kepada Allah swt. Ibnu Umar ra berkata: [Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi, dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah engkau menunggu hingga sore, ambilah kesempatan sehatmu untuk saat sakitmu, dan ambilah kesempatan hidupmu untuk saat matimu.
  1. Senantiasa Mengingat Kematian
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: [Kematian ini menahan penduduk dunia dari kenikmatan dunia dan perhiasaannya yang mereka nikmati, sehingga tatkala mereka dalam keadaan seperti itu kematian datang menjemputnya, maka celaka dan merugilah orang yang tidak takut mati dan tidak mengingatnya di saat senang sehingga dapat memberikan kebaikan yang akan didapatinya setelah ia meninggalkan dunia dan para penghuninya]. 
  1. Senantiasa memperbanyak berdo’a kepada Allah swt,
Agar Dia selalu menetapkan kita dalam keta’atan,   meluruskan langkah dan senantiasa menjalani jalur agama-Nya yang benar. Rasulullah saw memperbanyak do’a kepada Allah swt agar menetapkannya di atas agama-Nya, Kebanyakan doa beliau adalah “Wahai Dzat Yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku berada diatas agama-Mu” 
  1. Motivasi peningkatan diri.
Ibadah haji akan menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki diri. Seseorang yang bergelimang dosa, sering putus asa dengan dosa-dosanya sehingga sering merasa sudah terlanjur dengan dosanya. Dengan jaminan Allah bahwa Haji akan menghapus dosa, seolah-olah kita disegarkan kembali, sehingga akan termotivasi untuk menjaga diri agar tidak membuat dosa lagi.
  1. Menumbuhkan jiwa sabar
Kondisi yang dihadapi selama pelaksanaan ibadah haji akan menumbuhkan jiwa sabar. Dalam kondisi hampir 4 juta manusia berkumpul pada satu saat dan satu tempat maka fasilitas yang ada menjadi sangat terbatas. Setiap aktivitas membutuhkan kesabaran yang tinggi, mulai dari antri makan, ke toilet, dll. Setelah berhaji kita harus sabar dalam keta’atan ketika meneruskan perjalanan hidup dan bersabar pula dalam meninggalkan maksiat, karena sesungguhnya bersabar dalam melaksanakan ibadah dan meninggalkan maksiat merupakan tingkatan sabar yang tertinggi. Sesungguhnya kesudahan bagi orang-orang yang bersabar adalah surga: Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan):”Salamun ‘alaikum bima shabartum”.Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” (QS. Ar-Ra’ad:22-24)
7.      Menumbuhkan Solidaritas dan kebersamaan. 
Berkumpulnya ummat Islam dari seluruh dunia pada satu saat di satu tempat menumbuhkan jiwa solidaritas & kebersamaan. Kita akan bertemu dengan saudara Muslim dari seluruh dunia dalam kesederhanaan dan keberagaman. Kapan lagi bertemu dengan Muslim dari Kosovo, Uzbekistan, Kazakhstan, Mali, Nigeria, Bosnia Herzegovina, Turki, Kirgistan, China, India, Pakistan, Bangladesh, Afganistan. Walaupun ada perbedaan dalam tata cara ibadah, namun tidak membuat ikatan persaudaraan sesama muslim menjadi terhambat.
  1. Menjiwai perjuangan para rasul.
Di Tanah suci kita akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah para nabi dan rasul. Dengan menyaksikan tempat-tempat tersebut dan mempelajari sepak terjang mereka maka kita akan sampai pada tahapan ainul yakin dan haqul yakin sehingga menginspirasi kita untuk belajar dari para pendahulu. Ibadah haji penuh dengan ‘gerakan’ dari satu tempat menuju tempat lain. Dari Miqat menuju Arafah, dari Arafah menuju Muzdalifah, dari Muzdalifah menuju Mina. Haji merupakan gerakan bukan sekedar perjalanan. Bila perjalanan akan sampai pada ujung, maka haji adalah sasaran yang berusaha kita dekati, bukan tujuan yang kita capai. Untuk menuju Allah ada 3 fase yang harus dilalui : Arafah, Masy’ar (Muzdalifah) dan Mina. Arafah berarti “Pengetahuan”, May’ar berari “Kesadaran” dan Mina berarti Cina dan keimanan. Arafah melambangkan penciptaan manusia dan tempat pertemuan Adam dan Hawa, di sanalah mereka saling berkenalan. Berkumpulnya ummat Islam sedunia melaksanakan Ibadah haji merupakan sarana dan media efektif untuk meningkatkan dakwah Islamiyah dan mempersatukan ummat manusia dalam satu panji Islam yang akan menggentarkan musuh-musuhnya.
6.     Indikator Haji Mabrur
Setibanya dari haji, kita masih merasa dekat dengan Allah swt, sehingga alangkah baiknya bila kebiasaan selama berhaji dilanjutkan sebelum datangnya rasa malas dan jemu yang membuat sirna haji kita bersama tiupan angin.    Berjuanglah agar kita tidak menjadi lemah sebagaimana ketika berjuang pada hari-hari kita berada di tempat yang suci tersebut. Bersamaan dengan kepulangan kita menuju tanah air, yaitu: janganlah kita memandang terhadap diri sendiri seperti pandangan orang-orang yang tertipu, yaitu orang-orang yang apabila mengerjakan sedikit saja keta’atan, mereka menganggap diri mereka seolah-olah manusia paling mulia dimuka bumi, akan tetapi lihatlah dirimu dengan pandangan kekurangan, karena sesungguhnya sebanyak apapun amal shalih yang kita kerjakan, maka ia tidak bisa digunakan untuk mensyukuri kenikmatan terkecil yang Allah anugerahkan terhadap kita. Rasulullah saw mengajarkan kepada kita bagaimana cara beribadah kepada Allah swt, Beliau beribadah di malam hari hingga bengkak kedua kakinya, apabila mereka bertanya akan hal tersebut, beliau akan menjawab: Apakah aku tidak boleh untuk menjadi hamba yang sangat bersyukur?”  Dan Nabi saw bersabda:“Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah swt dalam sehari lebih dari tujuh puluh kaliHR. al-Bukhari 
Indikator kemabruran haji dapat dilihat pula dari aspek kehidupan sosial kemasyarakatan antara lain;
  1. Menegakkan shalat berjamaah dan menjadi pelopor kemakmuran masjid. Salah satu pendidikan dalam haji yang mengedepankan pentingnya melaksanakan shalat berjamaah adalah perintah kepada para jamaah haji untuk melaksanakan shalat arbain (empat puluh waktu shalat) di masjid nabawi yang bertujuan membiasakan para hujjaj untuk selalu sigap melaksanakan shalat berjamaah di masjid sekembalinya dari haji.
  2. Meningkatkan kepedulian terhadap orang yang lemah, menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai amanah Allah kepada hambanya yang berkemampuan melalui zakat, infaq dan shadaqoh. Rasulullah menegaskan bahwa salah satu tanda kemabruran adalah kecenderungan serang Hujaj untuk memberi kepada yang membutuhkan. Sebagai pelayanan masyarakat seorang Haji akan mendatangi anak yatim dan fakir miskin untuk membantu dan menghidurnya untuk mendapatkan keridhoan Allah.
  3. Menjenguk orang sakit dan takjiyah kepada yang meninggal.   Seorang haji yang mendengar sanak saudara atau famili yang sedang menderita sakit atau meninggal dunia akan tergerak untuk menjenguk dan takziah sebagai tindak lanjut talbiyah yang sudah masuk ke dalam hati bukan hanya sekedar di mulut. Menjenguk orangsakit sangat dicintai Allah karena merupakan implementasi dari menghidupkan silaturahmi sehingga puluhan ribu malaikat akan mengiringi orang yang menghidupkan silaturahmi ini.
  4. Aktif memperjuangkan dakwah dan amar maruf nahi munkar.
  5. Tolong Menolong terhadap saudara, kerabat dan tetangganya. Kebiasaan saling tolong menolong merupakan panggilan Illahi yang terbiasa melakukan tolong menolong selama di tanah suci.
  6. Mendamaikan orang yang berselisih.  Sebagai duta Allah, seorang Hujjaj terpanggil untuk menjadi duta perdamaian yang mendamaikan orang yang berselisih. Jika seorang haji mendengar ada orang yang berselisih, maka berita itu merupakan undangan ALLAH untuk mengishlahkan orang yang berselisih dan menyambungkan kembali tali silaturahmi di antara mereka.
  7. Patuh melaksanakan perintah Allah khususnya meningkatkan kualitas Shalat sebagai dasar untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar. Sahalat berkualitas adalah shalat yang dilaksanakan dengan Khudu (rendah diri), khusyu, dan menjaga waktunya.
  8. Konsekuen meninggalkan apa yang diperintahkan Allah karena malu kepada Allah .
  9. Gemar melaksanakan ibadah sunnah dan menjauhi amal yang makruh dan tidak bermanfaat.
  10. Meningkatkan rasa syukur dan tawakal. Orang yang melaksanakan haji berarti mendapatkan nikmat besar yang wajib disyukuri disamping berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya lalu berserah diri kepada Allah.
  11. Memelihara akhlaq terpuji. Akhlaq terpuji adalah perilaku orang shaleh yang melekat pada dirinya dalam pergaulan hidup bermasyarakat
  12. Meningkatkan ibadah puasa dan membiasakan membaca AL Qur’an.  Ibadah puasa adalah sarana untuk mencapai ketaqwaan dan mengendalikan syahwat di samping menjaga kesehatan jasmani. Membaca Al Qur’an adalah sarana untuk menambah ilmu yang akan menjadi syafaat di akhirat.
  13. Memelihara kejernihan hati dan kejujuran sehingga tidak mudah terjerumus ucapan dan perbuatan maksiat yang merugikan orang lain.
  14. Bersemangat mencari ilmu dan mengembangkan potensi diri
  15. Cepat bertaubat ketika menyadari dirinya melakukan kesalahan
  16. Senantiasa bekerja keras untuk mencari nafkah untuk kebutuhan dirinya dan berusaha tidak membebani orang lain.
” وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Ankabuut: 69)
” فَأَمَّا مَن طَغَى {37} وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا {38} فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى {39} وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى {40} فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى “ 
Adapun orang yang melampaui batas, (37) dan lebih mengutamakan kehidupan dunia (38) maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (39) Dan adapun orang-orang yangtakut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (40) maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (QS. An-Nazi’aat: 37-41)
Setiap pribadi umumnya akan mendapatkan hikmah dan pengalaman sendiri yang boleh diceritakan kepada orang lain sebagai rasa syukur dan pelajaran bagi orang lain. Siapa tahu bisa menjadi wasilah agar orang lain mengikuti jejak kita melaksanakan ibadah haji.  Namun bila ada pengalaman kurang baik sebaiknya disimpan untuk introspeksi diri, kalaupun diceritakan bukan untuk menakut-nakuti namun untuk menjaga kewaspadaan.
7.      Makna Spiritual Haji
Haji adalah ibadah yang sangat monumental dalam kehidupan seorang muslim. Sebab tidak semua muslim bisa melaksanakannya. Sebagai ibadah yang paripurna, Haji melibatkan semua aspek, mulai dari materi, fisik maupun psikis. Orang yang tidak memiliki tiga hal tersebut tidak bisa melakukan ibadah haji. Betapa banyak orang yang dari segi fisik mampu tapi materi tidak cukup. Atau punya harta yang cukup tapi fisik tak mendukung. Bahkan, ada orang yang memiliki kemampuan finansial dan fisik tapi psikisnya terganggu, juga tidak bisa melaksanakan ibadah haji.
Sebuah ‘simbol’
Ali Syariati dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiannya. Haji adalah samudera tak bertepi. Artinya haji sarat dengan makna spiritual yang mendalam di balik ritual simboliknya.
Pertama, Thawaf, yakni mengitari Kakbah sebanyak tujuh kali melawan arah jarum jam. Thawaf adalah simbol bahwa alam ini tidak berhenti bergerak. Ini dilambangkan dengan mengelilingi Kakbah. Manusia yang ingin eksis adalah yang manusia yang selalu bergerak. Maknanya, bergerak adalah entitas kehidupan, sebab berhenti bergerak sama dengan kematian. Kualitas seseorang ditentukan oleh bergeraknya ia ke arah yang memberi gerak. Bergerak ke pusat orbitnya. Dalam konteks kehidupan kita, seseorang yang haji adalah pribadi yang bergerak dalam mengejewantahkan nilai-nilai ketuhanan di muka bumi. Bergerak dari perilaku yang penuh dengan maksiat menuju perilaku yang penuh rahmat. Karena dengan bergerak ke arah ketuhananlah kita akan selamat dalam kehidupan ini. Sebab berhenti bergerak adalah statis dan itu sejatinya mati,walau tanpa dikebumi.
Kedua, Sa’i yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa. Hal ini dilakukan ketika Siti Hajar sangat membutuhkan air di padang yang tandus. Berdua dengan anak yang masih kecil di tempat yang tidak dikenal dan tidak ada sumber kehidupan. Sebuah tantangan kehidupan yang teramat berat. Berkali-kali Siti Hajar berlari-lari mencari sumber kehidupan. Ketika sampai di Marwa, ia melihat air di Safa, ketika sampai di Safa, ia melihat air di Marwa. Ternyata gambaran air itu adalah fatamorgana. Tanpa disangkanya muncullah air di kaki Ismail, air yang dikenal dengan nama air Zam-Zam. Perilaku Siti Hajar itu memberikan gambaran kepada kita bahwa untuk hidup perlu usaha, usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal. Kendati ia isteri nabi tapi Siti Hajar tidak ujug-ujug minta kepada Allah Swt sebelum berusaha. Kendatipun usaha telah maksimal, keputusan akhir ada di tangan Allah Swt. Terkadang dalam kehidupan kita merasakan bagaimana usaha telah maksimal tapi hasil tak memuaskan. Sejatinya itu menunjukkan bahwa yang menentukan hasil adalah Allah. Manusia tak satupun yang punya kuasa.
Ketiga, Melontar jumrah. Sebuah ibadah yang didasarkan kepada perilaku Nabi Ibrahim as yang melempar setan ketika ia ingin menunaikan perintah Allah Swt. Setan adalah simbol menggagalkan manusia untuk mentaati Allah. Dan itu harus dilawan dan dikeluarkan dari diri manusia. Setan di dalam diri manusia terkadang muncul dengan berbagai personifikasi. Bagi orang yang kaya setannya adalah perilaku Qarun. Orang yang memiliki kekuasaan adalah sifat Fir’aun dan bagi yang intelektual adalah perilaku Bal’am. Untuk menjadi orang yang selamat bergerak dalam kehidupan mesti setan-setan itu dilempar dari kehidupan kita. Dan ini harus dimiliki seorang yang haji.
Daftar Pustaka








Komentar

Postingan populer dari blog ini

step 1 about me

Soal Latihan MID Semester 1